Jalan-jalan ke Cornwall dan Wales (bagian 1)

Halo semua, pertama-tama selamat tahun baru 2018!

Jadi ini modelnya mirip dengan postingan gue tahun lalu tentang jalan-jalan sendirian ke Cheddar Gorge. Perjalanan singkat ini gue lakukan di tanggal 16-18 Desember 2017 tapi baru sempat untuk ditulis sekarang. Sederhananya, gue belajar dari perjalanan gue tahun lalu ke Cheddar Gorge: persiapkan setelan hangat sebaik mungkin dan jangan bepergian di tanggal antara Natal dan Tahun Baru kalau tidak ada mobil. Jadi untuk perjalanan kali ini, gue pastikan kalau semua setelan hangat lengkap dan gue memutuskan untuk menyewa mobil sendiri.

Sebelum bicara soal perjalanannya itu sendiri, disini gue juga mau berbagi hal soal menyewa mobil di Inggris Raya ini. Soal SIM, akan gue jelaskan di postingan terpisah. Setelah SIM ada, sebetulnya menyewa mobil disini terbilang murah dan mudah, tapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Soal harga, akan jauh lebih murah kalau usia pengemudi diatas 25 tahun (disini gue bersyukur gue lolos tipis kriteria ini). Ketika usia dibawah 25 tahun, akan ada “young driver surcharge” dan itu bisa sampai 3 kali lipat dari harga asli sewa mobilnya sendiri. Disini juga ada peraturan terkait pengemudi. Kalau pengemudi lebih dari satu, akan ada biaya tambahan. Mungkin ada juga orang-orang yang nekat bilangnya si A yang mengemudi tapi nanti pada prakteknya A,B, C yang mengemudi. Terserah. Gue pribadi orangnya ambil aman. Selain itu juga siap-siap diminta deposito sebesar GBP 250. Yah semacam kalau sewa kamar hotel di Indonesia aja. Tapi kalau memang enggak ada apa-apa, deposito itu akan balik penuh kok. Tenang aja.

Oke cukup soal sewa mobil. Terkait soal perjalanan gue sendiri, awalnya gue rencana melakukan weekend getaway ini bersama teman, tapi karena satu dan lain hal dia berhalangan, akhirnya gue paksakan untuk pergi sendiri karena gue sudah terlanjur mengatur jadwal untuk cuti hari senin. Justru disini gue sangat bersyukur karena gue banyak belajar dan banyak berdialog dengan diri gue sendiri. Rencana perjalanannya sendiri, awalnya kami berencana mengunjungi Taman Nasional Exmoor, Taman Nasional Dartmoor dan Eden Project. Namun karena begitu gue ngobrol dengan orang-orang di lab, gue mendapat banyak masukan soal destinasi dan jadilah rencana gue menjadi Sabtu menuju Cornwall dan Minggu-Senin menuju Wales. Cornwall itu dimana? Di kaki kiri bawah Inggris Raya. Spesifiknya, gue ke Tintagel Castle di bagian pantai utara dan ke Eden Project di daerah pantai selatan. Sedangkan Wales, gue ke bagian mananya? Gue ke daerah Abergavenny (nama Welshnya: y fenni) dan tujuan utamanya adalah berjalan ke bukit pen-y-fan di daerah Taman Nasional Brecon Beacon.

Perjalanan dimulai dari Sabtu pagi. Gue entah kenapa semacam belum siap untuk berjalan jauh sendiri, akhirnya gue mengajak teman gue di Bristol: Nabila. Kami berangkat dari Bristol sekitar jam 11 pagi (karena ada sedikit drama gue kehilangan paspor yang ternyata ada di kamar) dan langsung menuju Tintagel Castle. Bermodal Google Maps (pastikan sudah download versi luring), kami sampai dengan selamat sekitar jam 1 lewat di parkiran pusat turis Tintagel Castle. Oh omong-omong, daerah perjalanannya sangat berbukit dan nantinya akan ada satu titik di puncak bukit kalian akan bisa melihat laut dari kejauhan. Berhubung belum sarapan, setelah membeli sovenir, kami langsung menuju toko fish and chips terdekat. Setelah bergerumul dengan ikan goreng selama nyaris sejam, akhirnya kami siap menuju kastilnya. Sebetulnya Tintagel Castle ini bukan kastil macam Hogwarts atau yang dilihat di Games of Throne, tapi hanya reruntuhan saja. Untuk masuk ke area kastil, kami harus membayar tiket masuk (sebaiknya langsung cek situs resminya saja kalau-kalau ada perubahan harga).

Perlu diingat kalau kastil ini berada diatas tebing. Sebaiknya untuk yang takut ketinggian perlu dipersiapkan mentalnya. Untuk sampai keatas juga perlu menaiki beberapa anak tangga, tapi menurut gue pribadi yang tingkat kebugarannya tergolong rendah karena banyak berdiam di lab, ini masih tergolong mudah. Mungkin ada baiknya untuk menggunakan sepatu tahan air karena daerahnya agak berlumpur dan banyak rumput yang agak basah. Pemandangannya? Luar biasa. Sebetulnya diatas sini juga katanya ada patung Raja Arthur, tapi karena gue buru-buru, gue enggak berhasil menemukan patung tersebut. Gue kemungkinan akan kesini lagi kelak di musim panas karena pasti akan sangat bagus. Oh iya, di daerah Tintagel ini dikisahkan adalah tempat Raja Arthur mengambil pedang Excalibur dan ada goa Merlin.

Beberapa foto di daerah Tintagel Castle

Setelah selesai dari daerah Tintagel (dengan terburu-buru karena gue hanya beli tiket parkir untuk 2 jam), kami langsung menuju Eden Project. Apa sih Eden Project itu? Jadi Eden Project ini adalah ekosistem buatan dimana daerah bekas pertambangan dikonversi menjadi kubah-kubah yang berisi berbagai macam ekosistem. Mengapa gue tertarik? KARENA GUE KANGEN BAU HUTAN TROPIS (bukan, bukan bau ketiak dan keringat abang-abang pantai). Enggak perlu waktu lama untuk sampai ke Eden Project dari Tintagel Castle. Untungnya, gue sudah memasang peta luring karena di kedua daerah ini koneksi seluler sangat tidak bisa diandalkan. Dalam satu setengah jam, kami mulai sampai daerah Eden Project. Satu hal yang enggak akan bisa gue lupakan adalah karena ini sekitar musim dingin, malam hari datang sangat cepat sehingga sekitar jam 5 sudah sangat gelap. Mengemudi di daerah dengan lebar jalanan pas-pasan, kiri kanan langsung dengan dinding tanaman, gelap malam, dan koneksi seluler yang nihil enggak akan pernah ada di daftar kegiatan yang ingin gue lakukan dalam hidup.

Sesampainya di Eden Project (mulai sekarang akan gue singkat sebagai EP karena gue mulai lelah menulis miring terus-terusan), kami terperanjat karena ternyata keadaan cukup ramai. Tapi enggak masalah, karena ternyata parkirannya luas (yang artinya harus jalan lumayan untuk sampai ke kubah-kubahnya) dan kami dapat cukup jauh. Sesampainya di daerah tiket, tentunya kami ke toilet dulu karena cuaca cukup dingin (untuk pipis, masing-masing tentunya). Gue lupa soal waktu detailnya, tapi gue ingat kami sampai di EP nyaris bertepatan dengan waktu loket tutup. Untungnya, kami sudah beli tiketnya daring (karena lebih murah juga) dan langsung masuk tanpa kesulitan. Oh iya, untuk harga dan jam, bisa langsung dicek di situsnya EP.

Begitu lewat daerah loket, kami dihadapkan dengan pintu kaca. Namun karena sudah malam, tentunya kami enggak bisa melihat ada apa dibalik pintu kaca tersebut. Benar-benar seperti menang lotere, ketika pintu tersebut dibuka, kami langsung bisa melihat lembah luas dan kubah-kubah dibagian bawah lembah. Pihak pengelola EP ini sangat perhatian untuk pengunjung-pengunjung kemalaman karena mereka memasang lampu hijau dipinggir jalan setapak menuju kubah. Gue pribadi, jalan setapak tersebut terasa sangat ajaib dan romantis.

Kami enggak menghabiskan banyak waktu di EP ini karena memang sudah hampir tutup juga. Namun, kami tentunya sempat masuk ke kubah hutan tropis dan benar-benar serasa pulang ke Indonesia. Aroma daun pisang yang dibalur dengan udara lembab yang terasa lengket di bibir, ditambah rumah panggung dari bambu, malam itu benar-benar membuat gue merinding karena gue bisa merasakan rumah di tempat ribuan mil jauhnya. Kubah tropis ini juga enggak lupa dengan air terjun buatan dan kalau digambarkan, mungkin paling mirip adalah air terjun lembah anai di Padang Panjang, Padang. Di kubah tropis ini juga ada semacam jembatan gantung untuk observasi dari titik tertinggi diatas kubah. Oh, dan satu hal lagi yang gue sukai, karena malam hari, langit-langit kubah ekosistem buatan ini terlihat memantulkan cahaya lampu dan pantulan tersebut terlihat seperti bintang.

Seselesainya dari kubah tropis, kami menyempatkan diri untuk masuk ke kubah mediterania. Kami cukup beruntung karena sedang ada pertunjukan laser. Pertunjukan laser tersebut gue akui terlihat keren, namun sayangnya gue jadi enggak fokus untuk melihat tanaman-tanaman yang ada di ekosistem ini. Tapi dari pengamatan sekilas gue, ya selayaknya tanaman-tanaman di Inggris Raya saja. Termasuk tanaman-tanaman yang menyambut gue ketika pertama kali sampai di negeri ini dan membuat gue sadar kalau gue bukan di Indonesia lagi.

Oh iya, diantara kubah tropis dan kubah mediterania, ada kafetaria. Kafetaria ini menyajikan makanan-makanan dengan resep lokal yang menurut gue sangat menarik. Mungkin karena sedang musim dingin juga, pilihan menu yang disajikan kebanyakan berisi sayuran musim dingin terutama umbi-umbian. Tentunya gue enggak melewatkan kesempatan ini. Disini juga gue baru mengetahui kalau gue bisa minum kopi tanpa merasa pusing ataupun berdebar. Dengan catatan, dilarutkan dalam cokelat panas atau bahasa lainnya: mocca.

Beberapa foto di Eden Project

Sehabis makan dan setenggak terakhir mocca, kami memutuskan untuk pulang. Perjalanan pulang ke Bristol memakan waktu cukup panjang dan karena sudah malam juga, gue enggak berani untuk terlalu mengebut. Meskipun sejujurnya gue ingin banget untuk mengebut, terutama ketika peta mengarahkan kami melewati jalan yang hanya cukup untuk satu mobil dan kiri kanan mobil nyaris menempel dengan pagar tanaman tanpa penerangan selain dari cahaya lampu mobil. Disaat itu gue sadar kalau gue bukan takut hantu, melainkan psikopat yang tiba-tiba loncat kedepan mobil dengan gergaji mesin. Selain gue belum mau mati, gue takut deposit mobil gue dipotong. Pokoknya, disaat itu gue benar-benar cuma bisa diam, sesekali gue melirik Nabila dan dia juga terdiam pucat pasi.

Setelah melewati daerah gelap tersebut, hanya ada jalan bebas hambatan dan langsung mengarahkan kami ke Bristol. Kami sampai di Bristol sekitar pukul 1 pagi. Gue mengantar Nabila sampai ke dekat rumahnya dan sebelum turun, ia meninggalkan beberapa kudapan yang tidak habis dari hari ini. Gue perlu menyebut kudapan ini karena ini menjadi sebuah poin penting dalam bagian kedua dari seri jalan-jalan ini. Tanpa ada aneh-aneh lagi, gue pulang kerumah dan istirahat, menyiapkan diri untuk bagian kedua dari perjalanan ini karena Nabila tidak ikut untuk perjalanan hari Minggu dan Senin karena ia sudah punya acara. Ya, jadi gue akan mengemudi menuju Wales dan berjalan menapaki bukit sendirian dan pulang kembali ke Bristol. Bocoran terkait postingan selanjutnya: gue baik-baik saja karena kalau enggak, gue enggak mungkin menulis ini sekarang.

Leave a comment