Halo Indonesia, saya pulang (sebentar)

Halo Jakarta,

Jadi ceritanya, gue berkesempatan untuk pulang ke Indonesia selama 3 minggu selama periode paskah. Kenapa paskah? Karena gue memanfaatkan waktu tutup kampus dimana akses lab gue akan terbatas. Gue juga pulang padahal baru 6 bulan di Britania Raya adalah karena gue enggak tahu kapan lagi akan bisa pulang dan gue juga kangen ibu dan adik gue. Singkat cerita, gue kepikiran untuk mencoba penerbangan langsung dari Garuda Indonesia selama 13 jam. Gue tinggal naik bus dari terminal yang berjarak 5 menit dari flat gue – duduk manis sampai bandara Heathrow, London – Naik pesawat dan duduk manis 13 jam – sampai Jakarta dan dijemput ibu serta adik gue. Mudah.

Sebelum cerita kemana-mana, gue mau minta tolong untuk yang baca tulisan ini, kalau kalian naik penerbangan yang menembus malam hari dan negara tujuan kalian memiliki perbedaan zona waktu lebih dari 3 jam, tolong jangan menjadi orang kurang ajar. Bukan karena membawa bayi yang berisik, bukan keasikan bermain perangkat elektronik dengan cahaya terang, bukan. Kurang ajar disini adalah membuka jendela selebar goa hiro ketika jam negara asal masih jam umumnya orang tidur. Kenapa? Karena yang beginilah yang merusak jam tidur / ritme sirkadian seseorang dan bisa menyebabkan jetlag. Kalau lo ingin lihat-lihat keluar sih silahkan. Tapi cahaya matahari yang muncul lebih cepat itu menekan hormon tidur kalian dan orang lain yang terpapar. Apa bukan kurang ajar namanya ketika kalian sendiri yang disebelah jendela yang menikmati pemandangan tapi efek kemungkinan terkena jetlag lebih parahnya dibagi-bagi ke orang lain? Gue bilang ini bukan tanpa dasar. Gue menyelesaikan skripsi dan thesis gue dengan efek cahaya terhadap kantuk orang. Kalau ingin tau kenapa, bisa dicek sendiri soal intrinsically photosensitive retinal ganglion cells (ipRGC).

Oke sekarang gue akan ngomong kemana-mana (haha). Pertama, gue berhasil memuatkan bagasi gue seberat 29.9 kg (dari batas 30 kg, win!). Kedua, gue menyesal enggak membawa bantal leher padahal bisa gue tenteng. Ketiga, gue selalu ingat dan tersentak untuk mendengarkan Rather Be nya Clean Bandit semenjak menjemput dila ketika ia pulang pertama kali semenjak ia ke Belanda. Keempat, gue bersyukur memilih naik Garuda Indonesia karena hiburan dalam pesawatnya memiliki konten-konten film Indonesia. Dan yang terpenting, film-film tersebut adalah film-film yang sangat ingin gue tonton tapi tidak memungkinkan dengan kondisi gue di Britania Raya. Pada saat tulisan ini dibuat, gue berada 4 jam dari Indonesia dan sudah melahap “Ini kisah tiga dara”, “Sing” (hanya penyejuk mata dan hanya bagian konser terakhir), “Your Name” (lagi hanya menemani waktu makan malam dan hanya bagian lagu zen-zen-sense serta dari kataware-doki hingga selesai), dan gue baru saja menyelesaikan “surat cinta untuk kartini” dengan berlinang air mata. Setelah ini gue mau mengakhiri seri marathon gue dengan sabtu bersama bapak dan gue akan menulis ulasan singkat dari tiap film Indonesia tersebut disini.

Mungkin rasa dari tulisan ini akan tiba-tiba berubah disini karena sejujurnya tulisan ini gue lanjutkan di 2 hari sebelum gue kembali ke Britania Raya (haha). Tapi intinya, setelah menonton “sabtu bersama bapak”, gue tambah berlinang air mata sampai dilihatin sama bocah kursi sebelah. Perduli amat (haha).

Jadi untuk “ini kisah tiga dara”, gue semacam tetap terpana melihat Tara Basro. Enggak akan pernah bosan. Filmnya sendiri gue cukup suka karena mungkin mood gue sedang ingin menonton film musikal. Gue juga suka dengan fakta adanya titiek puspa yang tidak asing dalam masa kecil gue. Gue harus mengakui film ini sebetulnya bagus untuk ide memodernkan film Indonesia dahulu. Namun sayangnya, gue beberapa kali melihat ada adegan dengan gambar yang cukup kasar dan agak mengganggu pengalaman menonton gue. Beberapa dialog juga agak dipaksakan tapi kalau gue berpikir dari sudut adaptasi film 1957, mungkin memang sulit ya. Tapi pada akhirnya, gue merasa terhibur kok menonton film ini. Satu hal yang pasti, gue ingin ke maumere.

Untuk “Surat cinta untuk kartini”, gue suka film ini. Gue suka pesannya, gue suka ceritanya, tapi gue merasa agak aneh dengan settingnya. Gue sedikit bertanya apakah setting tersebut sudah tepat untuk awal tahun 1900an? Gue suka dengan bagian pesan perempuan Indonesia yang tidak boleh menyerah menempuh pendidikan. Gue sangat setuju karena gue sendiri dibesarkan oleh perempuan berpendidikan yang tidak menyerah. Tidak gue pungkiri pada bagian ketika kartini dilarang untuk membangun sekolah wanita, gue sempat tersentuh. Gue sangat kecewa begitu mengetahui ternyata cerita ini hanya terinspirasi dari, bukan saduran cerita asli dari biografi. Mungkin gue memang harus menonton film kartini yang diperankan Dian Sastro…

Terakhir, “Sabtu bersama bapak”. Gue dengar beberapa teman gue enggak terlalu suka dengan film ini karena katanya lebih bagus novelnya. Gue pribadi sih suka-suka saja. Humornya menurut gue masih dapat tersampaikan dari novel Adhitya Mulya seperti biasa. Terutama bagian email-emailan para karyawan yang menggosipkan bosnya. Memang ada beberapa bagian minor yang hilang dari buku seperti keberadaan atasan Cakra dan bagian Risa yang bermain saham. Yah, sesederhana menonton film menghibur saja.

Terlepas dari semua film tersebut, gue bersyukur duduk di kursi sebelah Aisle, sehingga akses kamar kecil gue sangat lancar dan mempermudah gue meminta makan tambahan ke belakang. Gue juga enggak lupa untuk berjalan-jalan kecil (bukan, bukan thawaf) untuk memastikan peredaran darah gue lancar. Oh iya gue enggak lupa untuk berhajat 2x di lavatory pesawat (tapi tentunya tanpa selfie kali ini) dan yang kedua gue menyerah hingga meminta gelas kertas ke pramugari dan ditertawakan. Intinya sih gue sampai Indonesia tanpa masalah dan gue siap menjalani liburan gue. Setelah ini gue akan menulis bagaimana gue dengan liburan gue di Pulau Macan dan berjalan-jalan pulang kampung (sebentar) ke Tasikmalaya 🙂

Halo Jakarta, Saya pulang (sebentar) dan sudah akan pergi lagi.

One thought on “Halo Indonesia, saya pulang (sebentar)

Leave a comment